Tiada Tuhan Selain Allah, Muhammad Rasulullah

Senin, 18 Oktober 2010

Sejarah Munculnya nama /Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Sengaja kami tidak mengatakan lahirnya Ahlus Sunnah wal Jamaah tetapi kami menyebutnya lahirnya penamaan Ahli Sunnah Wlajama’ah. Alasannya madzab ahli Sunnah itu merupakan jalan yg di tempuh Rasulullullah saw dan para sahabatnya. Mereka bukan pembuat bid’ah sehingga nama tersebut tidak dapat dinisbatakan kepada perseorangan atau kelompok. oleh krn itu tidak dapat di katakan “Mazhab Ahli Sunnah ini lahir pada tahun sekian.” Menurut Ibnu Taimiyah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah adl mazhab yg telah ada sejak dulu. Ia sudah di kenal sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah Malik Syafi’i dan Ahmaf. Ahli Sunnah ialah madzab sahabat yg telah menerimanya dari Nabi mereka. Barang siapa menentang itu menurut pandangan Ahli Sunnah berarti ia pembuat bid’ah. Mereka telah sepakat bahwa ijma’ orang-orang sesudah sahabat. Awal terjadinya penamaan Ahlus Sunna wal Jama’ah adl ketika terjadinya perpecahan sebagaimana yg dikhabarkan Nabi saw. Karena sebelum terjadinya perpecahan tidak ada istilah-istilah itu sedikit pun baik istilah Ahlus Sunna wal Jama’ah Syi’ah Khawarij atau lainnya. Pada saat itu kaum muslimin seluruhnya berada di atas dien dan pemahaman yg satu yaitu Islam. “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” Cobaan itu muncul pada permulaan abad ketiga masa pemerintahan al-Ma’mun dan al-Mu’tashim kemudian al-Watsiq pada saat kaum Jahmiyah menafikkan sifat-sifat Allah dan menyerukan menusia agar mengikuti paham mereka. madzab ini di anut oleh tokoh-tokoh Rafidlah yg mendapat dukungan pihak penguasa. Terhadap penyimpangan tersebut Madzab Ahli Sunnah tentu menolak. oleh krn itu mereka sering mendapat ancaman ataupun siksaan. Adapula yg di bunuh ditakut-takuti ataupun dibujuk rayu. Namun dalam menghadapi situasi yg seperti ini Imam Ahmad tetap tabah dan tegar sehingga mereka memenjarakan beliau sekian beberapa waktu lamanya. kemudian mereka menantang mereka utk berdebat. dan terjadilah berdebatan yg amat panjang. Dalam perdebatan tersebut demikian menurut Imam Ahmad dibahas masalah-masalah mengenai sifat-sifat Allah dan yg berkaitan dengannya mengenai nash-nash dalil-dalil antara pihak yg membenarkan dan menolak. dgn adanya perbedaan pandangan itu akhirnya ummat terpecah belah menjadi berkelompok-kelompok. Imam Ahmad dan Imam-imam lainnya dari Ahli Sunnah serta Ahli Hadits sangat mengetahui kerusakan Madzab Rafidlah Khawarij Qodariyah Jahmiyah dan Murji’ah. Namun krn adanya cobaan maka timbullah perdebatan. Dan Allah mengangkat kedudukan Imam ini menjadi Imam Sunnah sekaligus sebagai tokohnya. Predikat itu memang layak di sandangnya krn beliau sangat gigih dalam menyebarkan menyatakan mengkaji nash-nash dan atsar-atsarnya serta menjelaskan segala rahasianya. Beliau tidak mengeluarkan statement-statemen baru apalagi pandangan bid’ah. Kegigihan beliau dalam memeperjuangkan Ahli Sunnah tidak dapat diragukan lagi sampai-sampai sebagai ulama di Maghrib mengatakan ‘Madzab itu milik Malik dan Syafi’i sedangkan kepopulerannya milik Ahmad. Maksudnya madzab para Imam Ushul itu merupakan satu madzab sperti apa yg dikatakannya’.” Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang ahul sunnah beliau menjawab dgn mengatakan “Ahlus sunnah adl orang-orang yg tidak memiliki laqab yg mereka dikenal dengannya. Mereka bukanlah Jahmiyyun bukan Qadariyyun dan bukan pula Rafidiyyun .” Dari sini kita sepakat seperti apa yg telah dikatakan Dr. Mustafa Holmy “Ahlus Sunnah wal Jama’ah adl pelanjut pemahaman kaum muslimin pertama yg ditinggalkan oleh Rasulullah saw dalam keadaan beliau ridha terhadap mereka sedangkan kita tidak bisa membuat batasan permulaan yg kita bisa berhenti padanya sebagaimana yg dapat kita lakukan pada kelompok-kelompok yg lain. Tidak ada tempat bagi kita utk menanyakan tentang sejarah munculnya ahlus sunnah seperti halnya jika kita bertanya tentang sejarah munculnya kelompok-kelompok yg lain.” . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitabnya Minhaju As-Sunnah “Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah adl madzhab yg terdahulu dan telah terkenal sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah Malik Syafi’i dan Ahmad. Ia adl madzhab para shahabat yg diterima dari Nabi mereka. Barangsiapa yg menyelisihi tersebut maka dia adl Ahlul Bid’ah menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa Ahli Sunnah Waljama’ah merupakan kelanjutan dari jalan hidup Rasulullah saw dan para sahabatnya. Kalaupun bangkit seorang Imam pada jaman bid’ah dan keterasingan Ahli Sunnah yg menyeru manusia kepada aqidah yg benar dan memerangi pendapat yg menentangnya maka ia tidaklah membawa sesuatu yg baru. Ia hanya memperbaharui madzzab ahli sunnah yg sudah usang dan menghidupkan ajaran yg sudah terkubur. Sebab aqidah dan sisitemnya bagaimanapun tidak pernah berubah. Dan jika pada suatu masa atau pada suatu tempat terjadi penisbatan madzab Ahli Sunnah terhadap seorang ulama atau mujaddin maka hal itu bukan krn ulama tersebut telah menciptakan atau mengada-ada. Hal itu pertimbanganya semata-mata krn ia selalu menyerukan manusia agar kembali kepada as-sunnah. Adapun mengenai awal penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Ahli Hadits ialah ketika telah tejadi perpecahan munculnya berbagai golongan serta banyaknya bid’ah dan berbagai golongan serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah Ahli Sunnah menampakkan identitasnya yg brebeda dgn yg lain baik dalam aqidah maupun manhaj mereka. Namun pada hakikatnya mereka itu hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yg di jalankan Rasulullah saw dan para shahabatnya. Sumber

Manhaj dan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah Muhammad Abdul Hadi al-Mishri.

Majalah Salafy Edisi IX/Rabi’us Tsani/1/1996. Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

sumber file al_islam.chm

Senin, 11 Oktober 2010

KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM

Akal adl ni’mat besar yg Allah titipkan dalam jasmani manusia.

Nikmat yg bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yg sangat menakjubkan. {Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam hal. 5}Oleh karenanya dalam banyak ayat Allah memberi semangat utk berakal {yakni menggunakan akalnya} di antaranya:وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ“Dan Dia menundukkan malam dan siang matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dgn perintah-Nya. Sesungguhnya pada yg demikian itu benar-benar ada tanda-tanda bagi kaum yg memahami.” وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yg berdampingan dan kebun-kebun anggur tanaman- tanaman dan pohon korma yg bercabang dan yg tidak bercabang disirami dgn air yg sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yg lain tentang rasanya.

Sesungguhnya pada yg demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yg berfikir.” Sebaliknya Allah mencela orang yg tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yg menyala-nyala’.” Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “ tidak berakal dan tidak punya tamyiz … Bagaimanapun tidak terpuji dari sisi itu sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah  serta dalam Sunnah Rasulullah  pujian dan sanjungan bagi yg tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah  telah memuji amal akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat serta mencela keadaan yg sebaliknya di beberapa tempat…” Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal seperti:1. Allah  menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yg tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi bersabda:رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yg gila yg akalnya tertutup sampai sembuh orang yang tidur sehingga bangun dan anak kecil sehingga baligh.” {HR. Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’ no. 3512}2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yg harus dilindungi yaitu: agama akal harta jiwa dan kehormatan. 3. Allah  mengharamkan khamr utk menjaga akal. Allah  berfirman:يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ“Hai orang-orang yg beriman sesungguhnya khamar berjudi berhala mengundi nasib dgn panah adl perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” Nabi  bersabda:كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٍ“Setiap yg memabukkan itu haram.” Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” 4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan akal. Artinya keimanan tidak berarti mematikan akal bahkan Islam menyuruh akal utk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yg memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan.

Sedangkan yg dilakukan para pengkultus akal yg mereka beritikad memuliakan akal pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya krn mambebani akal dgn sesuatu yg tidak mampu.Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adl sesuatu yg berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yg lain memiliki sifat lemah dan keterbatasan.As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah  menciptakan akal dan memberinya kekuatan adl untuk berpikir dan Allah  menjadikan padanya batas yg ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya ia akan tepat dgn ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yg Allah  telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yg kita saksikan ini seperti pengetahuan tentang Allah  dan sifat-sifat-Nya arwah surga dan neraka yg semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.Nabi  bersabda:تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” {HR. Ath- Thabrani Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya}وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” Oleh karenanya akal diperintahkan utk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi justru terlalu banyak hal yg tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dgn syariat bagaikan kedudukan seorang awam dgn seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yg ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yg berfatwa maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yg berfatwa dgn orang awam yg tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yg meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yg berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut krn orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia lbh tahu . {Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201}Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: “Risalah datang dari Allah kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” Orang yg menggunakan akal tidak pada tempatnya berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yg ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yg telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dgn sejahat- jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yg tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. Akal yg terpuji dan akal yg tercelaMenengok penjelasan yg telah lalu dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya.

Adapun pendapat akal yg terpuji secara ringkas adl yg sesuai dgn syariat dgn tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yg tercela adl sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yg menyebutkan bahwa pendapat akal yg tercela itu ada beberapa macam:1. Pendapat akal yg menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.2. Berbicara masalah agama dgn prasangka dan perkiraan yg dibarengi dgn sikap menyepelekan mempelajari nash-nash memahaminya serta mengambil hukum darinya.3. Pendapat akal yg berakibat menolak asma Allah  sifat-sifat dan perbuatan- Nya dgn teori atau qiyas yg batil yg dibuat oleh para pengikut filsafat.4. Pendapat yg mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dgn anggapan baik dan prasangka. Jadi manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dgn akal kita kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yg tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yg tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.Akal yg sehat tidak akan menyelisihi syariatDisebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. Dengan prinsip ini mereka menolak sekian banyak nash yg shahih dulu maupun sekarang.

Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adl salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dgn singkat dan mudah cukup dgn kita merujuk kepada lima hal yg disebutkan Ibnul Qayyim t di atas.Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: Sesuatu yg diketahui dgn jelas oleh akal sulit dibayangkan akan bartentangan dgn syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yg shahih tidak akan bertentangan dgn akal yg lurus sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yg diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati sesuatu yg menyelisihi nash yg shahih dan jelas adl syubhat yg rusak dan diketahui kebatilannya dgn akal. Bahkan diketahui dgn akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dgn syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dgn sesuatu yang mustahil menurut akal tapi mengabarkan sesuatu yg membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yg diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun akal tidak mampu utk menjangkaunya.Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yg menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu demikian pula bagi mereka yg berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yg bertentangan dgn akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka utk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib utk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yg ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yg dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dgn semua yg dikabarkan oleh akal.” Ketika dalil bertentangan dgn akalSesungguhnya pertentangan akal dgn syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dgn dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yg sedang dibahas dgn benar. Sedangkan dalil maka pasti benarnya.Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yg mengharuskan kita utk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yg berpengalaman dgn Nabi  dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia curigailah akal kalian terhadap agama ini.” {Riwayat Ath-Thabrani lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah hal. 177 301}Beliau mengatakan demikian krn pernah membantah keputusan Nabi  dgn pendapatnya walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi  begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.Oleh karenanya Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dgn akal maka yang diambil adl dalil naqli yg shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” {Mukhtashar As- Shawa’iq hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah 1/61-63}Abul Muzhaffar As-Sam’ani t ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yg terbetik dalam akal dan benak mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dgn keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dgn keduanya maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya {Al Kitab dan As Sunnah} tidak akan menunjukkan kecuali kepada yg hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” Bila akal didahulukanJika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan utk sujud kepada Nabi Adam  kemudian ia membangkang dan menentang dgn akalnya.قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍْ“Allah berfirman: ‘Apakah yg menghalangimu utk bersujud di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab ‘Saya lbh baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” 2. Menyerupai orang kafir yg menolak keputusan Allah dgn akal mereka seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad . Mereka katakan:وَقَالُوْا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri ini?’.” 3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun krn mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lbh jelek krn mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh utk menolaknya.4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ“Maka jika mereka tidak menjawab ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka . Dan siapakah yg lbh sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dgn tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yg zalim.” 5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.6. Berkata dgn mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ“Dan di antara manusia ada orang-orang yg membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan tanpa petunjuk dan tanpa kitab yg bercahaya.” Ini termasuk larangan terbesar.قُلْ إِنَّمَا
حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yg keji baik yg nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yg benar mempersekutukan Allah dgn sesuatu yg Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yg tidak kamu ketahui’.” 7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. (Al-Mauqih 1/81-92)Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yg tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal’ maka ketahuilah bahwa ia adl Abu Jahal.”
Al Ustadz Qomar Suaidi Lc
sumber : file chm Darus Salaf 2

Kamis, 07 Oktober 2010

RUH (JIWA / NYAWA )

Eksistensi Ruh dalam Tinjauan Ulama Islam


Pendahuluan

Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di awali dari proses kejadian manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5), dan setelah melewati beberapa tahapan dan sempurna kejadiannya, dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (QS. 38:71-72).1

Dari ayat-ayat di atas menjadi jelas bahwa hakekat manusia terdiri dari dua unsur pokok yakni, gumpalan tanah (materi/badan) dan hembusan ruh (immateri). Di mana antara satu dengan satunya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar dapat di sebut manusia. Dalam perspektif sistem nafs, ruh menjadi faktor penting bagi aktivitas nafs manusia ketika hidup di muka bumi ini, sebab tanpa ruh, manusia sebagai totalitas tidak dapat lagi berpikir dan merasa.2

Ruh adalah zat murni yang tinggi, hidup dan hakekatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan pancaindra, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana menyelusupnya air ke dalam bunga, tidal larut dan tidak terpecah-pecah. Untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh mampu menerimanya. Sudah lama "kemisteriusan" ruh menjadi perdebatan di kalangan ulama Islam (teolog, filosof dan ahli sufi) yang berusaha menyingkap dan menelanjangi keberadaannya. Mereka mencoba mengupas dan mengulitinya guna mendapatkan kepastian tentang hakekat ruh.
Pembahasan

Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti.

* Kata روح untuk ruh
* Kata ريح (rih) yang berarti angin
* Kata روح (rawh) yang berarti rahmat.

Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat.3 Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimat
روحانيون * روحاني

Digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.4

Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti. Term-term yang digunakan al-Qur'an dalam penyebutan ruh, bermacam-macam. Diantaranya ruh di sebut sebagai sesuatu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)

Hanya saja, ketika ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih tetap hidup
الروح انه ما به حياة النفس

atau seperti yang dikatakan al-Farra' [5]
الروح هو الذي يعيش به الإنسان

Serta jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.

Selanjutnya al-Qur'an juga banyak menggunakan kata ruh untuk menyebut hal lain, seperti:

1. Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-Syu'ara' 193, al-Baqarah 87, al-Ma'arij 4, al-Naba' 38 dan al-Qadr 4.
(الروح الأمين , روح القدس , (والروح الملئكة
2. Rahmad Allah kepada kaum mukminin dalam QS. al-Mujadalah 22
وأيدهم بروح منه
3. Kitab suci al-Qur'an dalam QS. Al-Shura 52.6
وكذلك أوحينا إليك روحا من امرنا

Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Ibn Manzur mengutip pendapat Abu Bakar al-Anbari yang menyatakan bahwa bagi orang Arab, ruh dan nafs merupakan dua nama untuk satu hal yang sama, yang satu dipandang mu'anath dan lainnya mudhakkar.7

Makalah berikut ini berusaha menjelaskan beberapa pendapat 'ulama Islam yang berusaha menjelaskan pengertian, kedudukan dan hubungan ruh dengan nafs dalam diri manusia, berdasarkan rentang urutan hidup mereka:
Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M)

Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (ruh) merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku8 dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.

Ibnu Sina membagi daya jiwa (ruh) menjadi 3 bagian yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu

1. Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan.
2. Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.9
3. Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal.10

Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)

Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.11

Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.12

Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi.13 Di sini al-Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah yanmg dinamakan manusia.
Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185 M)

Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada manusia dan hewan tergolong sebagai ruh hewani yang berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta seluruh perilakunya. Ruh ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan. Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan.14

Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda dengan yang lain, tetapi semua perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah hakikat zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat".15
Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)

Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain.16 Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang.

Ia menyatakan bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.17

Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu:

1. Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.18

Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus ruh di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa".19

Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.20
Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)

Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.21

Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs ammarah.

Mereka berargumen dengan firman Allah:

Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) ...
(QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah
(QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah)
(QS. Yusuf: 53)

Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs lawwamah, karena tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain selalu ragu-ragu, menerima dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafs lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering mencela. Sedangkan nafs ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.22

Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Sehingga ada kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim dengan pendapat Ibn Taimiyah tentang tiga sifat jiwa ini.

Ibn Qayyim juga menjelaskan dan membagi menjadi tiga kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh ide-ide Plato. Ia menyebutkan tiga jenis cinta pada masing-masing kelompok tersebut, yaitu:

1. Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah 'alawiyah) dan cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi kehinaan.
2. Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah) dan cintanya tertuju pada pemaksaan, tirani, keangkuhan di bumi, kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia dengan cara yang batil.
3. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya tertuju pada makanan, minuman dan seks.23

Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, dapat dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri sendiri dan bukan pula berarti jiwa yang yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa.24
Filosof Lain

* Al-Nazzam berpendapat bahwa ruh adalah jism dan jiwa. Ia hidup dengan sendirinya. Ia masuk dan bercampur dengan badan sehingga badan tersebut menjadi bencana, mengekang dan mempersempit ruang lingkupnya. Keberadaannya dalam badan adalah untuk menghadapi kebinasaan badan dan menjadi pendorong bagi badan untuk memilih. Seandainya ruh telah lepas dari badan, maka semua aktivitas badan hanyalah bersifat eksidental dan terpaksa.
* Al-Jubba'i berpendapat bahwa ruh adalah termasuk jism, dan ruh itu bukan kehidupan. Sebab kehidupan adalah a'rad (kejadian). Ia beranggapan bahwa ruh tidak bisa ditempati a'rad.
* Abu al-Hudhail beranggapan bahwa jiwa adalah sebuh definisi yang berbeda dengan ruh dan ruhpun berbeda dengan kehidupan, karena menurutnya kehidupan adalah termasuk a'rad. Ia menambahkan, ketika kita tidur jiwa dan ruh kita kadang-kadang hilang, tetapi kehidupannya masih ada.
* Sebagian mutakallimin lain meyakini bahwa ruh adalah definisi kelima selain panas, dingin, basah dan kering. Tetapi mereka berbeda ketika membahas tentang aktivitas ruh. Sebagian berpendapat aktivitas ruh bersifat alami, tetapi sebagian lain berpendapat bersifat ikhtiyari.25

Penutup

Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-qalb dan al-'aql. Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang dengan kulit arinya.

Para ulama di atas hampir semua sepakat bahwa pengertian ruh adalah sama dengan nafs (kecuali Abu Hudhail). Hanya saja, ketika mereka berusaha mengupas lebih dalam lagi tentang peran, macam-macam, fungsi ruh dan tujuan penciptaan ruh bagi kehidupan manusia terkesan berbeda. Meskipun perbedaan tersebut amat tipis sekali karena kesemuaan pembahasan diatas saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang terkadang pada proses dan fase tertentu mereka mendefinisikannya sama.

Terlepas dari pro dan kontra berbagai pendapat mengenai ruh dan hal-hal yang terkait dengannya, satu hal yang pasti, bahwa kebenaran tentang hakekat dari ruh itu sendiri tetap menjadi rahasia Allah semata dan Ia hanya membukakan sedikit celah pintu bagi manusia untuk mencoba membuka dan menyingkapnya secara utuh.
Diambil dari WYRA'S SITE

Rabu, 06 Oktober 2010

MATI ( MENINGGAL DUNIA )

Kematian Menurut Islam


Sebelum membicarakan wawasan Al-Quran tentang kematian, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa kematian dalam pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi sekali, tetapi dua kali. Surat Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus membenarkan ucapan orang-orang kafir di hari kemudian:

“Mereka berkata, ‘Wahai Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami menyadari dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi kami untuk keluar (dari siksa neraka)?”

Kematian oleh sementara ulama didefinisikan sebagai “ketiadaan hidup,” atau “antonim dari hidup.” Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini.

Kehidupan pertama dialami oleh manusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas di dunia, sedang kehidupan kedua saat ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia hidup kekal di hari akhirat.

Al-Quran berbicara tentang kematian dalam banyak ayat, sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusan ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kematian dan kehidupan sesudah kematian kedua.

KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN

Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan. Namun manusia bahkan ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan keinginan sekelompok manusia untuk hidup selama itu (baca surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil merayu Adam dan Hawa melalui “pintu” keinginan untuk hidup kekal selama-lamanya.

“Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120). Demikian Iblis Merayu Adam.

Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada orang yang enggan mati karena ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian; mungkin juga karena menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan didapati nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati. Atau mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan, atau karena tidak mengetahui makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi kematian.

Dari sini lahir pandangan-pandangan optimistis dan pesimistis terhadap kematian dan kehidupan, bahkan dari kalangan para pemikir sekalipun.

Manusia, melalui nalar dan pengalamannya tidak mampu mengetahui hakikat kematian, karena itu kematian dinilai sebagai salah satu gaib nisbi yang paling besar. Walaupun pada hakikatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak diketahui, namun setiap menyaksikan bagaimana kematian merenggut nyawa yang hidup manusia semakin terdorong untuk mengetahui hakikatnya atau, paling tidak, ketika itu akan terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika ia pun pasti mengalami nasib yang sama.

Manusia menyaksikan bagaimana kematian tidak memilih usia atau tempat, tidak pula menangguhkan kehadirannya sampai terpenuhi semua keinginan. Di kalangan sementara orang, kematian menimbulkan kecemasan, apalagi bagi mereka yang memandang bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja.

Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai kehidupan ini sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu, mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan menghindari sedapat mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan jalan melakukan apa saja secara bebas tanpa kendali, demi mewujudkan eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari segala sesuatu? Kilah mereka.

Sebenarnya akal dan perasaan manusia pada umumnya enggan menjadikan kehidupan atau eksistensi mereka terbatas pada puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa mereka harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia bukan berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian sebagai kepunahan tercermin antara lain melalui penciptaan berbagai cara untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya, dengan menyediakan kuburan, atau tempat-tenapat tersebut dikunjunginya dari saat ke saat sebagai manifestasi dari keyakinannya bahwa yang telah meninggalkan dunia itu tetap masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.

Hubungan antara yang hidup dan yang telah meninggal amat berakar pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala, bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut oleh umat manusia dewasa ini. Sedemikian berakar hal tersebut sehingga orang-orang Mesir Kuno misalnya, meyakini benar

keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik yang dapat mengawetkan mayat-mayat mereka ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Konon Socrates pernah berkata, sebagaimana dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297), “Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi) kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup.”

Demikian gagasan keabadian hidup manusia hadir bersama manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Kalau keyakinan orang-orang Mesir Kuno mengantar mereka untuk menciptakan teknik pengawetan jenazah dan pembangunan piramid, maka dalam pandangan pemikir-pemikir modern, keabadian manusia dibuktikan oleh karya-karya besar mereka.

Abdul Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah (I:214) mengutip tulisan Goethe (1749-1833 M) yang menyatakan:

“Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya, maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul beban jiwa.”

Demikian filosof Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi ini sebagai arena untuk bekerja keras, dan kematian merupakan pintu gerbang menuju kehidupan baru guna merasakan ketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban.

PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN

Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, di mana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.

Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian. Rasul Muhammad Saw., misalnya bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian).”

Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian.

Dari Al-Quran ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan malaikat, sampai ke tingkat tertinggi yaitu kehidupan Yang Mahahidup dan Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya bahwa ada kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan di akhirat. Yang pertama dinamai Al-Quran al-hayat ad-dunya (kehidupan yang rendah), sedangkan yang kedua dinamainva al-hayawan (kehidupan yang sempurna).

“Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna” (QS Al-’Ankabut [29]: 64).

Dijelaskan pula bahwa,

“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa’ 14]: 77)

Di lain ayat dinyatakan,

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).

Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang di sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup yang tiada taranya.

Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut Raghib Al-Isfahani:

“Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana dirtwayatkan bahwa, “Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian harus berpindah dan satu negen ke negen (yang lain) sehingga kalian menetap di satu tempat.” (Abdul Karim AL-Khatib, I:217)

Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).

Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak (menahan).

Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya, “Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu.” Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta imsak yang berarti menahan (di sisi-Nya)?

Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya istilah ini lebih banyak ditujukan kepada manusia yang durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi mereka yang mati tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup di negeri seberang.

Kematian juga dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. Dalam surat Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan kepada orang-orang kafir.

“Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya), kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya.”

Nikmat yang diakibatkan oleh kematian, bukan saja dalam kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan duniawi, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian. Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil sama sekali bagi makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan tahun, untuk dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak berharga. Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa itu dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa, “Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun” (QS Al-Mulk [67]: 1-2).

Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA

Ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian bukanlah ketiadaan hidup secara mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia, dalam arti bahwa manusia yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.

“Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu

hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki” (QS. Ali-’Imran [3]: 169).

“Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang meninggal di jalan Allah bahwa ‘mereka itu telah mati,’ sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS Al-Baqarah [2]: 154).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara’ bin Azib, bahwa Rasulullah Saw., bersabda ketika putra beliau, Ibrahim, meninggal dunia, “Sesungguhnya untuk dia (Ibrahim) ada seseorang yang menyusukannya di surga.”

Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik yang tewas dalam peperangan Badar dikuburkan dalam satu perigi oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya, beliau “bertanya” kepada mereka yang telah tewas itu, “Wahai penghuni perigi, wahai Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai Abu Jahl bin Hisyam, (seterusnya beliau menyebutkan nama orang-orang yang di dalam perigi itu satu per satu). Wahai penghuni perigi! Adakah kamu telah menemukan apa yang dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? Aku telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhanku.” “Rasul. Mengapa Anda berbicara dengan orang yang sudah tewas?” Tanya para sahabat. Rasul menjawab: “Ma antum hi asma’ mimma aqul minhum, walakinnahum la yastathi’una an yujibuni (Kamu sekalian tidak lebih mendengar dari mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawabku).” Demikian beberapa teks keagamaan yang dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi kelahiran dan kehidupan baru.

MENGAPA TAKUT MATI?

Di atas telah dikemukakan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang merasa cemas dan takut terhadap kematian. Di sini akan dicoba untuk melihat lebih jauh betapa sebagian dari faktor-faktor tersebut pada hakikatnya bukan pada tempatnya.

Al-Quran seperti dikemukakan berusaha menggambarkan bahwa hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia. “Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu daripada dunia” (QS Al-Dhuha [93]: 4).

Musthafa Al-Kik menulis dalam bukunya Baina Alamain bahwasanya kematian yang dialami oleh manusia dapat berupa kematian mendadak seperti serangan jantung, tabrakan, dan sebagainya, dan dapat juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses menua secara perlahan. Yang mati mendadak maupun yang normal, kesemuanya mengalami apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat) yakni semacam hilangnya kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.

Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti “duri yang berada dalam kapas, dan yang dicabut dengan keras.” Banyak ulama tafsir

menunjuk ayat Wa nazi’at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) (QS An-Nazi’at [79]: 1), sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat surat tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut ruh dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara perlahan-lahan.3

Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai “dicabut dengan lemah lembut,” sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur. Surat Al-Zumar (39): 42 yang dikutip sebelum ini mendukung pandangan yang mempersamakan mati dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa yang diajarkan Rasulullah Saw. untuk dibaca pada saat bangun tidur adalah:

“Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami

(menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak).”

Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar (39): 42 sebagai berikut:

“Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi.”

Kalau demikian. mati itu sendiri “lezat dan nikmat,” bukankah tidur itu demikian? Tetapi tentu saja ada

faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan kematian lebih lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya mimpi-mimpi buruk yang dialami manusia. Faktor-faktor ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan bahwa, “Seorang mukmin, saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkannya kepadanya apa yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada bertemu dengan Tuhan.”

Dalam surat Fushshilat (41): 30 Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa

Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan jangan pula bersedih, serta

bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah kepada kamu.’”

Turunnya malaikat tersebut menurut banyak pakar tafsir adalah ketika seseorang yang sikapnya seperti digambarkan ayat di atas sedang menghadapi kematian. Ucapan malaikat, “Janganlah kamu merasa takut” adalah untuk menenangkan mereka menghadapi maut dan sesudah maut, sedang “jangan bersedih” adalah untuk menghilangkan kesedihan mereka menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan seperti anak, istri, harta, atau hutang.

Sebaliknya Al-Quran mengisyaratkan bahwa keadaan orang-orang kafir ketika menghadapi kematian sulit terlukiskan:

“Kalau sekuanya kamu dapat melihat malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata, ‘Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar’ (niscaya kamu akan merasa sangat ngeri)” (QS Al-Anfal [8]: 50)

“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata, ‘Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang tidak benar, dan karena kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya” (QS Al-An’am [6]:93).

Di sisi lain, manusia dapat “menghibur” dirinya dalam menghadapi kematian dengan jalan selalu mengingat dan meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak seorang pun akan luput darinya, karena “kematian adalah risiko hidup.” Bukankah Al-Quran menyatakan bahwa, “Setiap jiwa akan merasakan kematian?” (QS Ali ‘Imran [3]: 183)

“Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk seorang manusiapun sebelum kamu. Apakah jika kamu meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS Al-Anbiya’ [21]: 34)

Keyakinan akan kehadiran maut bagi setiap jiwa dapat membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti diketahui, “semakin banyak yang terlibat dalam kegembiraan, semakin besar pengaruh kegembiraan itu pada jiwa; sebaliknya, semakin banyak yang tertimpa atau terlibat musibah, semakin ringan musibah itu dipikul.”

Demikian Al-Quran menggambarkan kematian yang akan dialami oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci menginformasikan tentang kematian yang dapat mengantar seorang mukmin agar tidak merasa khawatir menghadapinya. Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan. Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya.
Amin.

WAWASAN AL-QURAN (Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat) – Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Diambil dari Muhammad Zaenal Abidin Personal blog

Selasa, 05 Oktober 2010

HIDUP

Hidup (Menurut Pandangan Islam)

Kita sebagai orang Islam yang mengharapkan keredhaan Allah harus bercita-cita untuk hidup secara Islam dengan sebaik-baiknya. Untuk itu kita harus faham dan mengetahui bagaimana hendak hidup secara Islam menurut Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW merupakan peraturan Allah untuk panduan hidup manusia. Langit, bumi dan segala isinya adalah kepunyaan Allah. Maka Allah jugalah yang berhak membuat peraturan-peraturannya. Allah sediakan peraturan itu untuk manusia menggunakan dan menjalankannya. Manusia wajib mengikuti peraturan Allah itu. Mereka tidak dapat mengikuti akal sendiri. Jika tidak ada hancurlah dunia ini, firman Allah :
"Lahirlah kerusakan di lautan dan di daratan akibat dari tangan-tangan manusia"
[Q.S. Ar Rum : 41]

Jika ada manusia yang tidak mau terima peraturan dari Allah untuk mengatur hidupnya, rumah tangga, masyarakat, negara hingga alam yang lebih luas, hukuman Allah sangat berat. Firman Allah :
"Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum dari Allah maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir"
[Q.S. Al Maidah : 44]

"Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum dari Allah maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang zalim"
[Q.S. Al Maidah : 45]

"Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum dari Allah maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang fasiq"
[Q.S. Al Maidah : 46]

Jadi orang yang tidak mau mengikuti peraturan dan perintah Allah, dapat dijatuhi hukum kafir, zalim atau fasiq.

Mengatur Hidup Menurut Syariat

Supaya manusia berjaya mengatur hidup secara yang dikehendaki oleh Al Qur'an dan Sunnah atau ajaran Islam, harus menempuh empat perkara :
1. Syariat
2. Tareqat
3. Hakikat
4. Makrifat

1. Syariat

Ialah peraturan-peraturan lahir dan batin atau hukum dari Allah yang telah ditetapkan olehNya di dalam Al Qur'an dan dijelaskan lagi oleh hadis Rasulullah SAW.
Hukum Syariat

Terdiri dari lima hukum, yaitu wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Lima hukum ini menyuluh hidup kita dari diri, keluarga, masyarakat, negara, hingga alam sejagat.

" WAJIB: Satu perkara dibuat dapat pahala, ditinggalkan berdosa, kedudukannya harus dibuat.
" SUNAT : Dibuat dapat pahala, ditinggalkan tidak berdosa, kedudukannya sebaiknya dibuat
" HARAM : Dibuat berdosa, ditinggalkan karena Allah dapat pahala, kedudukannya harus ditinggalkan
" MAKRUH : Dibuat tidak berdosa, ditinggalkan karena Allah dapat pahala, kedudukannya sebaiknya ditinggalkan
" MUBAH/JAIZ : Dibuat atau ditinggalkan tidak dapat pahala dan tidak juga berdosa, kedudukannya dapat pilih mau dibuat atau ditinggalkan.

Setiap yang kita lakukan, walau sekecil apapun tidak terlepas dari lima hukum tersebut. Contohnya dalam berpakaian :

1. Wajib berpakaian untuk menutup aurat. Menutup seluruh tubuh bagi wanita dan sekurang-kurangnya dari pusat sampai lutut bagi lelaki.
2. Sunat berpakaian mengikuti sunnah Rasulullah SAW seperti memakai kopiah, serban, jubah, dan lain-lain.
3. Haram berpakaian yang membuka aurat bagi lelaki dan wanita. Haram memakai pakaian dari sutra bagi lelaki.
4. Makruh berpakaian yang panjangnya melampaui batas bagi lelaki.
5. Mubah berpakaian apa saja baik yang murah atau yang mahal.

Seluruh perintah Allah baik yang wajib atau sunat, diibaratkan seperti satu badan. Maka perumpamaan orang yang hanya buat hal yang sunat saja tetapi tidak melakukan yang wajib, badannya mati tapi tidak berfungsi. Bagi orang yang hanya buat yang wajib tapi tidak buat yang sunat, badannya hidup tapi tidak indah dan cantik.

" Syariat Allah yang mengandung lima hukum itu, kalau menyuluh soal-soal keyakinan dan aqidah, disebut persoalan usuluddin (tauhid)
" Bila menyuluh soal lahiriah, hal-hal lahir seperti berpakaian, mengatur rumah tangga dan sebagainya dikatakan persoalan fiqih
" Syariat itu kalau menyuluh soal-soal hati, nafsu, batin atau rohani disebut tasawuf

Tauhid, fiqih dan tasawuf tidak dapat dipisahkan, ketiganya harus dipelajari, difahami dan diamalkan, misalnya dalam shalat, ketiganya harus dibawa bersama.
Fiqihnya : Berdiri, rukuk, sujud dalam setiap bacaan dan perbuatan dalam shalat
Tauhidnya : Yakin dengan Allah Yang Maha Melihat
Tasawufnya : Khusyuk, faham setiap bacaan dan rasa tadharuk dengan Allah.

Ketiganya tidak dapat dipisahkan, Imam Malik r.a berkata :
"Barang siapa yang semata-mata berfiqih tetapi tidak bertasawuf, dia akan jatuh fasiq. Barang siapa yang bertasawuf tetapi tidak berfiqih, dia akan jatuh zindiq (kafir)".

2. Tareqat

Tariqat artinya jalan. Tariqat terbagi dua :
1. Tariqat wajib yaitu syariat yang berbentuk ilmiah yang diamalkan sungguh-sungguh. Contohnya : bertariqat dalam shalat, kita belajar ilmu tentang shalat, ketika sampai masanya kita pun melaksanakan shalat.
2. Tariqat sunat. Seperti tariqat Ahmadiah, Satariah, Qadariah, Naqsabandiyah, Muhammadiyah dan lain-lain, yaitu kita mengamalkan disiplin wirid-wirid, shalawat-shalawat tertentu yang disusun oleh ulama-ulama terdahulu.

Tariqat wajib, memang wajib ke atas setiap orang mengamalkannya. Tariqat sunat banyak diamalkan oleh orang yang bercita-cita mendidik diri dan oleh ulama-ulama yang haq.

Kita patut juga mengamalkan tariqat sunat untuk memudahkan jalan kita menuju Allah. Orang yang mengamalkan tariqat sunat ini akan dibantu dalam bermujahadah melawan nafsu dan mendidik hati ke arah taqwa. Perlu diingat dalam kita mengamalkan tariqat sunat, kita tidak dapat meninggalkan tariqat wajib, karena tiada nilai amalan sunat tanpa mengerjakan amalan wajib.

3. Hakikat

Setelah seseorang itu bersyariat dan bertariqat sungguh-sungguh dia kaan dapat rasa Hakikat, yaitu rasa yang Allah jatuhkan ke hati hambaNya yang Dia pilih dan kehendaki. Orang ini tidak lagi memiliki sifat mazmumah, sifat-sifat terpuji menghiasi dirinya, seperti rasa syukur, redha, zuhud, tawakal, pemurah, dan lain-lain. Jiwanya tidak terpengaruh dengan perubahan suasana. Allah letakkan dalam hatinya rasa tenang dan damai. Firman Allah :
"Ketahuilah dengan mengingati Allah itu hati akan tenang"
[Q.S. Ar Rad : 128]

Orang berzikir yang mendapat ketenangan itu mulutnya menyebut Allah, hati merasakan kebesaran Allah dan perbuatannya melaksanakan perintah Allah. Soal hakikat atau buah ibadah tidak dapat dipelajari. Siapa yang dapat, dia akan merasakannya. Orang yang telah mendapat hakikat, dikatakan orang yang benar-benar kenal Allah.

4. Makrifat

Orang yang telah sampai ke tingkat makrifat dikatakan orang-orang yang Al 'Arifbillah atau golongan 'Arifin. Mereka ini kenal Allah dengan mata hati dan mereka telah mencapai taraf bertaqwa. Mereka benar-benar dapat melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah yang haram dan makruh.

Kalau ada orang yang melaksanakan syariat sungguh-sungguh, faham sungguh-sungguh kelima hukum tetapi tidak tenang, tidak redha, tidak sabar dan lain-lain haruslah periksa diri, muhasabah diri kembali. Kalau bukan kesalahan di bidang Tauhid, mungkin salah di bidang fiqih atau di bidang tasawuf.

Kesimpulannya ajaran Islam bukanlah bentuk percakapan saja, tapi perlu diamalkan lahir dan batin agar menjadi hamba Allah yang soleh atau disebut Al 'Arifbillah yang akan mendapat kemenangan di dunia dan Akhirat.
Diambil dari Kawan Sejati

Sabtu, 02 Oktober 2010

SHALAT

Shalat atau sering ditulis Salat, Solat, Shalat merujuk kepada salah satu ritual ibadat pemeluk agama Islam.

Secara bahasa shalat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti : do'a.

Sedangkan menurut istilah shalat bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau

tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.

Praktik shalat harus sesuai dengan segala petunjuk tata cara Rasulullah SAW sebagai

figur pengejawantah perintah Allah SWT.


Rasulullah SAW bersabda,: Shalatlah kalian sesuai dengan apa yang kalian lihat aku mempraktikkannya. (HR Bukhari- Muslim)